Pembatasan penggunaan kayu yang berasal dari hutan alam sebagai bahan baku industri, bukanlah hal yang mencemaskan bagi pelaku industri kehutanan. Hal ini justru harus dijadikan tantangan agar industri tetap bertahan dan tidak terjadi pengurangan bahkan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan. Berbagai upaya yang bisa ditempuh antara lain melalui efisiensi penggunaan mesin dan penggantian sumber bahan baku yang berasal dari kayu hutan tanaman, hutan rakyat ataupun perkebunan
Sesuai Peraturan Pemerintah No.34/2002, kapasitas izin industri primer hasil hutan tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari dan sumber bahan baku industri primer hasil hutan selain dari hutan alam, dapat pula berasal dari hutan tanaman, hutan hak dan hasil dari perkebunan berupa kayu.
Guna mendukung program pelestarian hutan dengan cara tidak menggunakan kayu yang berasal dari hutan alam sebagai bahan baku industri kayu, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah melakukan revitalisasi industri kehutanan. Program revitalisasi industri kehutanan yang dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan berupa: Perbaikan perizinan industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) dari bahan baku kayu bulat yang berasal dari hutan alam menjadi bahan baku kayu yang berasal dari hutan tanaman ataupun hutan rakyat; Mempermudah proses dan prosedur perizinan untuk industri yang menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari hutan tanaman; Pengetatan pemberian Izin Usaha-IPHHK.
Menurut Syamsudin, Kepala Seksi Pengolahan Industri Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, saat ini pemerintah Provinsi Sumatera Selatan tidak lagi mengeluarkan izin untuk industri primer yang akan memanfaatkan kayu yang berasal dari hutan alam. Setelah dilakukan revitalisasi dan pengetatan perizinan, kini industri yang aktif di Sumatera Selatan tinggal 72 industri dengan kapasitas untuk kayu gergajian 487.100 m3, plywood 276.000 m3, MDF (medium density fiberboard) 220.000 m3, Veneer 12.000 m3, serta Pulp 2.250.000 m3 per tahun. Jumlah ini jauh menurun dibanding tahun 1990-an yang mencapai 234 industri kayu. Dari jumlah itu, empat industri kayu telah menggunakan mesin rotary baru dengan diameter sisa log core mencapai 3-8 cm dengan kapasitas total 152.000 m3/tahun. Saat ini Pemprov Sumatera Selatan terus menggalakkan penggunaan bahan baku kayu non hutan alam dan penggantian mesin rotary dengan diameter sisa log core kecil bagi industri perkayuan.
Potensi kayu karet di provinsi ini cukup besar, mengacu data Dinas Perkebunan Sumatera Selatan tahun 2004, lahan karet yang ada mencapai 900.000 hektar. Luasan ini merupakan lahan karet terluas di seluruh Indonesia. Sekitar 129 ribu hektar diantaranya merupakan lahan karet yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Potensi kayu yang ada dari kayu karet tua yang perlu diremajakan sekitar 6,5 juta m3. Sedangkan peremajaan normal yang dilakukan per tahun umumnya sekitar 4% dari luas kebun karet yang ada atau sekitar 36.000 hektar. Dengan asumsi per hektar menghasilkan 50 m3 kayu, maka kayu hasil peremajaan ini bisa menghasilkan 1,8 juta m3 kayu karet yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku industri kayu. Potensi sebesar ini dapat menjamin kesinambungan pasokan bahan baku industri kayu dengan bahan baku kayu karet sebagai substitusi kebutuhan pasar produk plywood dari kayu alam di provinsi Sumatera Selatan.
Volume kayu sebanyak ini merupakan peluang pengembangan industri veneer/kayu lapis dari kayu karet. Sebagai gambaran, industri veneer/kayu lapis skala sedang dengan kapasitas 30.000 m3/tahun dapat menyerap 300 tenaga kerja, baik pada industri maupun pada kegiatan eksploitasinya. Dengan potensi sebesar 1,8 juta m3/tahun atau setara dengan 1,25 juta m3 veneer atau plywood 900.000 m3/tahun dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 12.500 orang.
Dari pengamatan kami, perusahaan yang telah melakukan efisiensi mesin dan menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari kayu rakyat dan perkebunan, perusahaan tersebut dapat berjalan dengan baik dan membuka lapangan kerja baru. Sebagaimana dikemukakan Sukriadi, Direktur Operasional PT Wahana Lestari Makmur Sukses, pihaknya telah membuka industri pengolahan kayu veneer dengan kapasitas 6 ribu meter kubik per tahun di Kabupaten Ogan Ilir yang menggunakan bahan baku kayu karet yang berasal dari masyarakat.
Dengan 3 buah mesin rotary, industri ini mampu mengolah bahan baku kayu karet dan kayu sengon berdiameter sekitar 50-60 Cm dengan diameter sisa/core hingga 3-4 cm. Sedangkan tenaga kerja yang mampu diserap sebanyak 80 orang. Veneer yang dihasilkan dikirim ke Jambi untuk diproses lebih lanjut menjadi kayu lapis/plywood. Hingga saat ini kebutuhan bahan baku masih dapat dipenuhi, baik dari karet rakyat maupun perkebunan. Pihaknya sudah mengadakan kerjasama dengan PTPN VIII untuk pemenuhan bahan baku kayu karet sebanyak 10.000 m3.
Untuk menjaga keberlangsungan pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu karet rakyat, masyarakat diberi bibit dan pupuk serta biaya kompensasi sebesar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per hektar. Umumnya masyarakat menyambut baik pemanfaatan kayu karet yang sudah tidak produktif ini, karena selama ini kayu karet yang sudah tua harus ditebang sendiri dan tidak ada yang memanfaatkannya.
Lebih jauh Sukriadi menambahkan bahwa selain kayu karet, Sumatera Selatan juga potensial dengan kayu sengon. Hampir di seluruh kabupaten dapat dijumpai kayu sengon hasil kegiatan sengonisasi yang belum termanfaatkan secara optimal. Di samping itu terdapat pula beberapa HTI yang siap panen yang belum melakukan penebangan karena kesulitan pemasaran. Sedang di hutan rakyat banyak dijumpai pula kayu akasia dan pulai, disamping banyak lahan kosong milik masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi hutan tanaman rakyat. Semua potensi ini sangat prospektif bagi pengembangan industri kayu non hutan alam.
Arah revitalisasi industri kehutanan
Secara nasional, saat ini sebagian besar industri kehutanan masih bertumpu pada bahan baku kayu dari hutan alam, sedangkan kemampuan produksi kayu dari hutan alam menurun sehingga terjadi kesenjangan kemampuan pasokan bahan baku kayu dengan kebutuhan industri.
Kayu bulat yang bukan berasal dari hutan alam pada umumnya berdiameter kecil sehingga tidak efisien jika diproses dengan mesin rotary lama yang pada umumnya hanya mampu mengolah/mengupas sampai sisa log core berdiameter 20-25 cm. Namun dengan mesin rotary yang menggunakan teknologi baru, kayu bulat dengan diameter kecil mampu diolah hingga sisa log core berdiameter 3-8 cm, tergantung jenis kayu dan mesin yang digunakan.
Dengan demikian, sejalan dengan upaya revitalisasi industri kehutanan maka industri primer hasil hutan kayu ke depan diarahkan untuk hutan alam sebagai bahan baku andalan. Revitalisasi industri kehutanan juga diarahkan untuk menggunakan mesin rotary berteknologi baru sehingga lebih efisien dalam penggunaan bahan baku, hemat energi serta ramah lingkungan.
Program revitalisasi industri kehutanan diarahkan agar industri kehutanan bertumpu pada bahan baku andalan dari kayu hutan tanaman, termasuk memanfaatkan bahan baku dari hutan tanaman rakyat dan kayu perkebunan berupa kayu hasil tebangan dalam rangka peremajaan perkebunan karet, sawit, dll. Sedangkan bahan baku kayu dari hutan alam dimanfaatkan untuk produk khusus yang bernilai tinggi. Diharapkan pula semua industri perkayuan melakukan kerjasama kemitraan dengan masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat atau perkebunan rakyat dalam pemenuhan pasokan bahan baku.
Lima tahun terakhir ini terdapat beberapa industri yang mulai memanfaatkan kayu HTI, hutan rakyat dan kayu tebangan perkebunan sebagai bahan baku industri primer hasil hutan kayu. Disamping itu beberapa perusahaan juga telah melakukan kerjasama kemitraan dengan masyarakat sekitar dengan memberikan bantuan bibit untuk penanaman hutan rakyat sebagai pasokan bahan baku industri untuk waktu mendatang.
Terdapat beberapa pola yang digunakan perusahaan untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat. Pola yang digunakan tergantung kebutuhan dan keinginan masyarakat. Ada masyarakat yang menginginkan diberi kompensasi berupa bibit, pupuk dan sejumlah uang. Kelompok masyarakat lainnya hanya membutuhkan bibit dan uang, atau pupuk dan uang. Ada pula kelompok yang hanya membutuhkan uang saja, karena bibit dan pupuk sudah dimiliki oleh mereka. Penggunaan bahan baku kayu karet atau kayu lainnya dari lahan masyarakat merupakan solusi yang saling menguntungkan bagi semua pihak. Masyarakat akan terbantu karena terbukanya lapangan kerja baru di samping terbantu juga dalam meremajakan tanaman karet serta mengurangi resiko pembakaran lahan/kebun. Dari sisi perusahaan, pasokan kayu akan terjamin dan terbukanya peluang untuk mengembangkan hutan kemasyarakatan. Sedangkan pemerintah daerah akan terbantu dalam mengentaskan kemiskinan di samping dapat meningkatkan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi. (rd)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Perlu niat baik pemerintah
BalasHapus