11 Agustus 2009
31 Juli 2009
KAYU KARET Sebagai SUBSTITUSI KAYU HUTAN ALAM
Pembatasan penggunaan kayu yang berasal dari hutan alam sebagai bahan baku industri, bukanlah hal yang mencemaskan bagi pelaku industri kehutanan. Hal ini justru harus dijadikan tantangan agar industri tetap bertahan dan tidak terjadi pengurangan bahkan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan. Berbagai upaya yang bisa ditempuh antara lain melalui efisiensi penggunaan mesin dan penggantian sumber bahan baku yang berasal dari kayu hutan tanaman, hutan rakyat ataupun perkebunan
Sesuai Peraturan Pemerintah No.34/2002, kapasitas izin industri primer hasil hutan tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari dan sumber bahan baku industri primer hasil hutan selain dari hutan alam, dapat pula berasal dari hutan tanaman, hutan hak dan hasil dari perkebunan berupa kayu.
Guna mendukung program pelestarian hutan dengan cara tidak menggunakan kayu yang berasal dari hutan alam sebagai bahan baku industri kayu, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah melakukan revitalisasi industri kehutanan. Program revitalisasi industri kehutanan yang dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan berupa: Perbaikan perizinan industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) dari bahan baku kayu bulat yang berasal dari hutan alam menjadi bahan baku kayu yang berasal dari hutan tanaman ataupun hutan rakyat; Mempermudah proses dan prosedur perizinan untuk industri yang menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari hutan tanaman; Pengetatan pemberian Izin Usaha-IPHHK.
Menurut Syamsudin, Kepala Seksi Pengolahan Industri Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, saat ini pemerintah Provinsi Sumatera Selatan tidak lagi mengeluarkan izin untuk industri primer yang akan memanfaatkan kayu yang berasal dari hutan alam. Setelah dilakukan revitalisasi dan pengetatan perizinan, kini industri yang aktif di Sumatera Selatan tinggal 72 industri dengan kapasitas untuk kayu gergajian 487.100 m3, plywood 276.000 m3, MDF (medium density fiberboard) 220.000 m3, Veneer 12.000 m3, serta Pulp 2.250.000 m3 per tahun. Jumlah ini jauh menurun dibanding tahun 1990-an yang mencapai 234 industri kayu. Dari jumlah itu, empat industri kayu telah menggunakan mesin rotary baru dengan diameter sisa log core mencapai 3-8 cm dengan kapasitas total 152.000 m3/tahun. Saat ini Pemprov Sumatera Selatan terus menggalakkan penggunaan bahan baku kayu non hutan alam dan penggantian mesin rotary dengan diameter sisa log core kecil bagi industri perkayuan.
Potensi kayu karet di provinsi ini cukup besar, mengacu data Dinas Perkebunan Sumatera Selatan tahun 2004, lahan karet yang ada mencapai 900.000 hektar. Luasan ini merupakan lahan karet terluas di seluruh Indonesia. Sekitar 129 ribu hektar diantaranya merupakan lahan karet yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Potensi kayu yang ada dari kayu karet tua yang perlu diremajakan sekitar 6,5 juta m3. Sedangkan peremajaan normal yang dilakukan per tahun umumnya sekitar 4% dari luas kebun karet yang ada atau sekitar 36.000 hektar. Dengan asumsi per hektar menghasilkan 50 m3 kayu, maka kayu hasil peremajaan ini bisa menghasilkan 1,8 juta m3 kayu karet yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku industri kayu. Potensi sebesar ini dapat menjamin kesinambungan pasokan bahan baku industri kayu dengan bahan baku kayu karet sebagai substitusi kebutuhan pasar produk plywood dari kayu alam di provinsi Sumatera Selatan.
Volume kayu sebanyak ini merupakan peluang pengembangan industri veneer/kayu lapis dari kayu karet. Sebagai gambaran, industri veneer/kayu lapis skala sedang dengan kapasitas 30.000 m3/tahun dapat menyerap 300 tenaga kerja, baik pada industri maupun pada kegiatan eksploitasinya. Dengan potensi sebesar 1,8 juta m3/tahun atau setara dengan 1,25 juta m3 veneer atau plywood 900.000 m3/tahun dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 12.500 orang.
Dari pengamatan kami, perusahaan yang telah melakukan efisiensi mesin dan menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari kayu rakyat dan perkebunan, perusahaan tersebut dapat berjalan dengan baik dan membuka lapangan kerja baru. Sebagaimana dikemukakan Sukriadi, Direktur Operasional PT Wahana Lestari Makmur Sukses, pihaknya telah membuka industri pengolahan kayu veneer dengan kapasitas 6 ribu meter kubik per tahun di Kabupaten Ogan Ilir yang menggunakan bahan baku kayu karet yang berasal dari masyarakat.
Dengan 3 buah mesin rotary, industri ini mampu mengolah bahan baku kayu karet dan kayu sengon berdiameter sekitar 50-60 Cm dengan diameter sisa/core hingga 3-4 cm. Sedangkan tenaga kerja yang mampu diserap sebanyak 80 orang. Veneer yang dihasilkan dikirim ke Jambi untuk diproses lebih lanjut menjadi kayu lapis/plywood. Hingga saat ini kebutuhan bahan baku masih dapat dipenuhi, baik dari karet rakyat maupun perkebunan. Pihaknya sudah mengadakan kerjasama dengan PTPN VIII untuk pemenuhan bahan baku kayu karet sebanyak 10.000 m3.
Untuk menjaga keberlangsungan pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu karet rakyat, masyarakat diberi bibit dan pupuk serta biaya kompensasi sebesar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per hektar. Umumnya masyarakat menyambut baik pemanfaatan kayu karet yang sudah tidak produktif ini, karena selama ini kayu karet yang sudah tua harus ditebang sendiri dan tidak ada yang memanfaatkannya.
Lebih jauh Sukriadi menambahkan bahwa selain kayu karet, Sumatera Selatan juga potensial dengan kayu sengon. Hampir di seluruh kabupaten dapat dijumpai kayu sengon hasil kegiatan sengonisasi yang belum termanfaatkan secara optimal. Di samping itu terdapat pula beberapa HTI yang siap panen yang belum melakukan penebangan karena kesulitan pemasaran. Sedang di hutan rakyat banyak dijumpai pula kayu akasia dan pulai, disamping banyak lahan kosong milik masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi hutan tanaman rakyat. Semua potensi ini sangat prospektif bagi pengembangan industri kayu non hutan alam.
Arah revitalisasi industri kehutanan
Secara nasional, saat ini sebagian besar industri kehutanan masih bertumpu pada bahan baku kayu dari hutan alam, sedangkan kemampuan produksi kayu dari hutan alam menurun sehingga terjadi kesenjangan kemampuan pasokan bahan baku kayu dengan kebutuhan industri.
Kayu bulat yang bukan berasal dari hutan alam pada umumnya berdiameter kecil sehingga tidak efisien jika diproses dengan mesin rotary lama yang pada umumnya hanya mampu mengolah/mengupas sampai sisa log core berdiameter 20-25 cm. Namun dengan mesin rotary yang menggunakan teknologi baru, kayu bulat dengan diameter kecil mampu diolah hingga sisa log core berdiameter 3-8 cm, tergantung jenis kayu dan mesin yang digunakan.
Dengan demikian, sejalan dengan upaya revitalisasi industri kehutanan maka industri primer hasil hutan kayu ke depan diarahkan untuk hutan alam sebagai bahan baku andalan. Revitalisasi industri kehutanan juga diarahkan untuk menggunakan mesin rotary berteknologi baru sehingga lebih efisien dalam penggunaan bahan baku, hemat energi serta ramah lingkungan.
Program revitalisasi industri kehutanan diarahkan agar industri kehutanan bertumpu pada bahan baku andalan dari kayu hutan tanaman, termasuk memanfaatkan bahan baku dari hutan tanaman rakyat dan kayu perkebunan berupa kayu hasil tebangan dalam rangka peremajaan perkebunan karet, sawit, dll. Sedangkan bahan baku kayu dari hutan alam dimanfaatkan untuk produk khusus yang bernilai tinggi. Diharapkan pula semua industri perkayuan melakukan kerjasama kemitraan dengan masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat atau perkebunan rakyat dalam pemenuhan pasokan bahan baku.
Lima tahun terakhir ini terdapat beberapa industri yang mulai memanfaatkan kayu HTI, hutan rakyat dan kayu tebangan perkebunan sebagai bahan baku industri primer hasil hutan kayu. Disamping itu beberapa perusahaan juga telah melakukan kerjasama kemitraan dengan masyarakat sekitar dengan memberikan bantuan bibit untuk penanaman hutan rakyat sebagai pasokan bahan baku industri untuk waktu mendatang.
Terdapat beberapa pola yang digunakan perusahaan untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat. Pola yang digunakan tergantung kebutuhan dan keinginan masyarakat. Ada masyarakat yang menginginkan diberi kompensasi berupa bibit, pupuk dan sejumlah uang. Kelompok masyarakat lainnya hanya membutuhkan bibit dan uang, atau pupuk dan uang. Ada pula kelompok yang hanya membutuhkan uang saja, karena bibit dan pupuk sudah dimiliki oleh mereka. Penggunaan bahan baku kayu karet atau kayu lainnya dari lahan masyarakat merupakan solusi yang saling menguntungkan bagi semua pihak. Masyarakat akan terbantu karena terbukanya lapangan kerja baru di samping terbantu juga dalam meremajakan tanaman karet serta mengurangi resiko pembakaran lahan/kebun. Dari sisi perusahaan, pasokan kayu akan terjamin dan terbukanya peluang untuk mengembangkan hutan kemasyarakatan. Sedangkan pemerintah daerah akan terbantu dalam mengentaskan kemiskinan di samping dapat meningkatkan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi. (rd)
Sesuai Peraturan Pemerintah No.34/2002, kapasitas izin industri primer hasil hutan tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari dan sumber bahan baku industri primer hasil hutan selain dari hutan alam, dapat pula berasal dari hutan tanaman, hutan hak dan hasil dari perkebunan berupa kayu.
Guna mendukung program pelestarian hutan dengan cara tidak menggunakan kayu yang berasal dari hutan alam sebagai bahan baku industri kayu, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah melakukan revitalisasi industri kehutanan. Program revitalisasi industri kehutanan yang dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan berupa: Perbaikan perizinan industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) dari bahan baku kayu bulat yang berasal dari hutan alam menjadi bahan baku kayu yang berasal dari hutan tanaman ataupun hutan rakyat; Mempermudah proses dan prosedur perizinan untuk industri yang menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari hutan tanaman; Pengetatan pemberian Izin Usaha-IPHHK.
Menurut Syamsudin, Kepala Seksi Pengolahan Industri Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, saat ini pemerintah Provinsi Sumatera Selatan tidak lagi mengeluarkan izin untuk industri primer yang akan memanfaatkan kayu yang berasal dari hutan alam. Setelah dilakukan revitalisasi dan pengetatan perizinan, kini industri yang aktif di Sumatera Selatan tinggal 72 industri dengan kapasitas untuk kayu gergajian 487.100 m3, plywood 276.000 m3, MDF (medium density fiberboard) 220.000 m3, Veneer 12.000 m3, serta Pulp 2.250.000 m3 per tahun. Jumlah ini jauh menurun dibanding tahun 1990-an yang mencapai 234 industri kayu. Dari jumlah itu, empat industri kayu telah menggunakan mesin rotary baru dengan diameter sisa log core mencapai 3-8 cm dengan kapasitas total 152.000 m3/tahun. Saat ini Pemprov Sumatera Selatan terus menggalakkan penggunaan bahan baku kayu non hutan alam dan penggantian mesin rotary dengan diameter sisa log core kecil bagi industri perkayuan.
Potensi kayu karet di provinsi ini cukup besar, mengacu data Dinas Perkebunan Sumatera Selatan tahun 2004, lahan karet yang ada mencapai 900.000 hektar. Luasan ini merupakan lahan karet terluas di seluruh Indonesia. Sekitar 129 ribu hektar diantaranya merupakan lahan karet yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Potensi kayu yang ada dari kayu karet tua yang perlu diremajakan sekitar 6,5 juta m3. Sedangkan peremajaan normal yang dilakukan per tahun umumnya sekitar 4% dari luas kebun karet yang ada atau sekitar 36.000 hektar. Dengan asumsi per hektar menghasilkan 50 m3 kayu, maka kayu hasil peremajaan ini bisa menghasilkan 1,8 juta m3 kayu karet yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku industri kayu. Potensi sebesar ini dapat menjamin kesinambungan pasokan bahan baku industri kayu dengan bahan baku kayu karet sebagai substitusi kebutuhan pasar produk plywood dari kayu alam di provinsi Sumatera Selatan.
Volume kayu sebanyak ini merupakan peluang pengembangan industri veneer/kayu lapis dari kayu karet. Sebagai gambaran, industri veneer/kayu lapis skala sedang dengan kapasitas 30.000 m3/tahun dapat menyerap 300 tenaga kerja, baik pada industri maupun pada kegiatan eksploitasinya. Dengan potensi sebesar 1,8 juta m3/tahun atau setara dengan 1,25 juta m3 veneer atau plywood 900.000 m3/tahun dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 12.500 orang.
Dari pengamatan kami, perusahaan yang telah melakukan efisiensi mesin dan menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari kayu rakyat dan perkebunan, perusahaan tersebut dapat berjalan dengan baik dan membuka lapangan kerja baru. Sebagaimana dikemukakan Sukriadi, Direktur Operasional PT Wahana Lestari Makmur Sukses, pihaknya telah membuka industri pengolahan kayu veneer dengan kapasitas 6 ribu meter kubik per tahun di Kabupaten Ogan Ilir yang menggunakan bahan baku kayu karet yang berasal dari masyarakat.
Dengan 3 buah mesin rotary, industri ini mampu mengolah bahan baku kayu karet dan kayu sengon berdiameter sekitar 50-60 Cm dengan diameter sisa/core hingga 3-4 cm. Sedangkan tenaga kerja yang mampu diserap sebanyak 80 orang. Veneer yang dihasilkan dikirim ke Jambi untuk diproses lebih lanjut menjadi kayu lapis/plywood. Hingga saat ini kebutuhan bahan baku masih dapat dipenuhi, baik dari karet rakyat maupun perkebunan. Pihaknya sudah mengadakan kerjasama dengan PTPN VIII untuk pemenuhan bahan baku kayu karet sebanyak 10.000 m3.
Untuk menjaga keberlangsungan pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu karet rakyat, masyarakat diberi bibit dan pupuk serta biaya kompensasi sebesar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per hektar. Umumnya masyarakat menyambut baik pemanfaatan kayu karet yang sudah tidak produktif ini, karena selama ini kayu karet yang sudah tua harus ditebang sendiri dan tidak ada yang memanfaatkannya.
Lebih jauh Sukriadi menambahkan bahwa selain kayu karet, Sumatera Selatan juga potensial dengan kayu sengon. Hampir di seluruh kabupaten dapat dijumpai kayu sengon hasil kegiatan sengonisasi yang belum termanfaatkan secara optimal. Di samping itu terdapat pula beberapa HTI yang siap panen yang belum melakukan penebangan karena kesulitan pemasaran. Sedang di hutan rakyat banyak dijumpai pula kayu akasia dan pulai, disamping banyak lahan kosong milik masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi hutan tanaman rakyat. Semua potensi ini sangat prospektif bagi pengembangan industri kayu non hutan alam.
Arah revitalisasi industri kehutanan
Secara nasional, saat ini sebagian besar industri kehutanan masih bertumpu pada bahan baku kayu dari hutan alam, sedangkan kemampuan produksi kayu dari hutan alam menurun sehingga terjadi kesenjangan kemampuan pasokan bahan baku kayu dengan kebutuhan industri.
Kayu bulat yang bukan berasal dari hutan alam pada umumnya berdiameter kecil sehingga tidak efisien jika diproses dengan mesin rotary lama yang pada umumnya hanya mampu mengolah/mengupas sampai sisa log core berdiameter 20-25 cm. Namun dengan mesin rotary yang menggunakan teknologi baru, kayu bulat dengan diameter kecil mampu diolah hingga sisa log core berdiameter 3-8 cm, tergantung jenis kayu dan mesin yang digunakan.
Dengan demikian, sejalan dengan upaya revitalisasi industri kehutanan maka industri primer hasil hutan kayu ke depan diarahkan untuk hutan alam sebagai bahan baku andalan. Revitalisasi industri kehutanan juga diarahkan untuk menggunakan mesin rotary berteknologi baru sehingga lebih efisien dalam penggunaan bahan baku, hemat energi serta ramah lingkungan.
Program revitalisasi industri kehutanan diarahkan agar industri kehutanan bertumpu pada bahan baku andalan dari kayu hutan tanaman, termasuk memanfaatkan bahan baku dari hutan tanaman rakyat dan kayu perkebunan berupa kayu hasil tebangan dalam rangka peremajaan perkebunan karet, sawit, dll. Sedangkan bahan baku kayu dari hutan alam dimanfaatkan untuk produk khusus yang bernilai tinggi. Diharapkan pula semua industri perkayuan melakukan kerjasama kemitraan dengan masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat atau perkebunan rakyat dalam pemenuhan pasokan bahan baku.
Lima tahun terakhir ini terdapat beberapa industri yang mulai memanfaatkan kayu HTI, hutan rakyat dan kayu tebangan perkebunan sebagai bahan baku industri primer hasil hutan kayu. Disamping itu beberapa perusahaan juga telah melakukan kerjasama kemitraan dengan masyarakat sekitar dengan memberikan bantuan bibit untuk penanaman hutan rakyat sebagai pasokan bahan baku industri untuk waktu mendatang.
Terdapat beberapa pola yang digunakan perusahaan untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat. Pola yang digunakan tergantung kebutuhan dan keinginan masyarakat. Ada masyarakat yang menginginkan diberi kompensasi berupa bibit, pupuk dan sejumlah uang. Kelompok masyarakat lainnya hanya membutuhkan bibit dan uang, atau pupuk dan uang. Ada pula kelompok yang hanya membutuhkan uang saja, karena bibit dan pupuk sudah dimiliki oleh mereka. Penggunaan bahan baku kayu karet atau kayu lainnya dari lahan masyarakat merupakan solusi yang saling menguntungkan bagi semua pihak. Masyarakat akan terbantu karena terbukanya lapangan kerja baru di samping terbantu juga dalam meremajakan tanaman karet serta mengurangi resiko pembakaran lahan/kebun. Dari sisi perusahaan, pasokan kayu akan terjamin dan terbukanya peluang untuk mengembangkan hutan kemasyarakatan. Sedangkan pemerintah daerah akan terbantu dalam mengentaskan kemiskinan di samping dapat meningkatkan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi. (rd)
17 Juli 2009
ALTERNATIF EKOWISATA DI BANDUNG
Bandung, kota yang banyak menawarkan beragam tujuan wisata,, tidak hanya wisata belanja atau wisata kuliner yang sekarang menjamur. Bandung juga menawarkan wisata alam yang menarik untuk dijelajahi. Salah satunya adalah Tahura Djuanda, sebuah kawasan konservasi yang juga merupakan kawasan wisata alam yang tidak boleh dilewatkan bila berkunjung ke kota yang pernah dijuluki kota kembang ini.
Hawa sejuk segera terasa begitu menginjakkan kaki di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda yang terletak di Utara kota Bandung. Kawasan konservasi ini mudah dijangkau karena terletak tidak jauh dari Ibukota Jawa Barat. Hanya dengan waktu tempuh sekitar 20 menit dari Gedung Sate, yang merupakan ”landmark” sekaligus kantor pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat, kita bisa memperoleh kesegaran alam yang sulit didapatkan di perkotaan. Kesejukan dan kesegaran yang ada tidak terlepas dari kondisi tahura yang relatif lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa tahura yang ada. Sehingga tidak heran tempat ini sering dijadikan tempat rekreasi dan berolahraga bagi warga sekitar Kota Bandung.
Tahura ini memiliki aksesibilitas cukup tinggi. Semua jenis kendaraan bisa mencapai pintu gerbang utama dengan mudah, karena jalan sudah beraspal dengan kondisi baik. Selain melalui pintu utama di Pakar Dago, ada beberapa pintu masuk yang dapat ditempuh, yaitu melalui Kolam Pakar PLTA Bengkok dan melalui pintu masuk Maribaya di Lembang.
Menurut Kepala Balai Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda, Tahura ini merupakan tahura pertama di Indonesia dan menjadi benteng terakhir satu-satunya kawasan konservasi terdekat di kota Bandung. Kawasan ini mempunyai fungsi penyediaan air bersih, udara bersih dan paru-paru kota yang harus dilestarikan. Jika tidak dilestarikan, akan mengancam keberadaan kota yang dijuluki Paris Van Java ini. Oleh karena itu pihaknya bertekad untuk menjaga dan melestarikan keberadaan Tahura Djuanda. ”Inilah yang menjadi prioritas utama”, ujarnya.
Berbagai obyek daya tarik wisata yang dapat dikunjungi di Tahura Djuanda antara lain berupa Plaza Monumen Ir. H. Djuanda dilengkapi dengan museum yang dibangun untuk menghormati perjuangan Ir. H. Djuanda, tokoh pahlawan nasional yang berasal dari Jawa Barat. Tahura ini juga menyediakan taman bermain untuk anak-anak dengan berbagai fasilitas permainan di antara pepohonan hutan. Selain itu pengelola juga membangun panggung terbuka untuk menampung kegiatan masyarakat dalam bentuk kegiatan pertunjukan dan atraksi dengan kapasitas 200 orang.
Obyek daya tarik lainnya adalah Curug Dago, berupa air terjun setinggi 15 meter pada aliran sungai Cikapundung dengan pamandangan alam dan ekosistem hutan yang sejuk dan dapat dijadikan tempat istirahat di bawah pepohonan. Air terjun lainnya yang menambah keindahan kawasan ini yaitu Curug Omas. Air terjun yang mempunyai ketinggian 30 meter ini terletak berdekatan dengan obyek wisata air panas Maribaya. Masih di aliran Sungai Cikapundung, di antara kedua curug tersebut terdapat Curug Lalay. Obyek ini berupa goa dengan bebatuan yang terjal yang ditempati burung dan kelelawar yang di tengahnya mengalir Sungai Cikapundung. Sedangkan bagi pengunjung yang menyukai tracking, pengelola menyediakan jogging track berupa jalan setapak menyusuri tepi sungai yang berhutan antara Pakar – Maribaya sejauh 5 km. Melalui track berbukit dengan paving blok ini kita dapat menikmati panorama Tahura dan pemandangan kota Bandung.
Di samping obyek alam tersebut, tempat ini juga menyimpan peninggalan sejarah masa lalu berupa Prasasti Thailand peninggalan Raja Thailand Chulalongkorn II yang pernah mengunjungi lokasi tersebut Tahun 1896. Prasasti ini terawat dengan baik karena pemeliharaannya mendapat bantuan dari Pemerintah Thailand.
Sampai di sini, pengunjung belum lengkap jika belum mengunjungi Goa Belanda. Yaitu goa peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1941 oleh Belanda untuk terowongan PLTA Bengkok. Kemudian pada saat perang goa ini dijadikan sebagai pusat stasiun radio telekomunikasi militer Hindia Belanda. Goa lainnya yang terdapat dikawasan ini adalah Goa Jepang yang dibangun tentara Jepang tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan, setelah sebelumnya Hindia Belanda menyerah kepada Tentara Jepang. Pembangunan goa ini dilakukan oleh tanaga kerja pribumi dengan cara kerja paksa yang dikenal dengan romusha.
Tahura Ir. H. Djuanda merupakan taman hutan raya pertama di Indonesia yang diresmikan 14 Januari 1985 oleh Presiden Soeharto bertepatan dengan tanggal kelahiran Ir. H. Djuanda. Awalnya dikenal sebagai kawasan Hutan Lindung Gunung Pulosari dan Taman wisata Alam Curug Dago. Kawasan hutan lindung ini dirintis pembangunannya sejak tahun 1960 oleh Gubernur Jawa Barat ketika itu, Mashudi, ADM Bandung Utara Sambas Wirakusumah dengan dukungan Ismail Saleh (Menteri Kehakiman) dan Soedjarwo (Menhut)
Pengelolaan Tahura Djuanda sejak tahun 2003 diserahkan kepada Pemprov Jabar c.q. Dinas Kehutanan Jabar melalui UPTD Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya berdasarkan SK Menhut No. 107/kpts-II/2003 tanggal 24 Maret 2003. Luas Tahura Djuanda berdasarkan rekonstruksi tata batas tahura tahun 2003 adalah 527,03 Hektar.
Apresiasi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda terus meningkat. Hal ini diindikasikan dengan tingkat kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara dari tahun ke tahun yang terus meningkat. Data yang diperoleh memperlihatkan tahun 2003 jumlah pengunjung sebanyak 18.020 orang dan tahun 2005 meningkat menjadi 66.388 orang, sedangkan data tahun 2007 menunjukkan angka 94.723 orang. Sementara itu target pemasukan dana dari kunjungan tahun 2008 sebesar Rp 300 juta. Walaupun kecenderungan ini terus meningkat, namun jumlah pengunjung tidak menjadi target pengelolaan. ”Yang penting adalah kawasan tetap lestari, dengan demikian jika kawasan lestari pengunjungpun akan lestari. Masyarakat akan tetap mencari dan memanfaatkan keberadaan kawasan tahura”, ujar Kepala Balai Tahura Djuanda.
Fenomena ini sudah mulai tampak saat ini. Tidak sedikit masyarakat Bandung yang berada pada level menengah ke atas memanfaatkan tempat ini sebagai tempat berolahraga. Kegiatan ini sudah menjadi lifestyle sebagian masyarakat Bandung yang sejak pagi hari melakukan aktivitas kebugaran jasmani di Tahura yang dikalangan masyarakat Bandung masih dikenal dengan sebutan Dago Pakar. Memanfaatkan semua fasilitas yang ada tidak memerlukan biaya mahal. Hanya dengan merogoh kocek Rp 3000 per orang, masyarakat mendapatkan fasilitas yang nilainya jauh lebih tinggi dari yang mereka bayar. Masyarakat sudah membutuhkan dan menyadari fungsi kawasan konservasi yang diresmikan tahun 1985 ini. Kondisi ini merupakan harapan yang baik dan memberikan semangat tersendiri bagi pengelolan Tahura Djuanda.
Pemberdayaan Masyarakat
Guna meningkatkan manfaat bagi masyarakat sekitar, Pengelola Tahura melakukan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan pembuatan kompos. Kompos yang dihasilkan dapat mereka gunakan untuk budidaya pertanian ataupun dijual. Di samping itu juga masyarakat dibina untuk mengembangkan budidaya tanaman herbal, lebah madu dan jamur kayu.
Sementara itu dalam rangka pengamanan kawasan dilakukan pelatihan pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Direncanakan akan dibentuk satuan pengendalian kebakaran yang melibatkan masyarakat. Melalui kegiatan ini diharapkan masyarakat mempunyai keterampilan dalam upaya pertama pemadaman kebakaran sebelum api membesar. Masyarakat juga diharapkan menjadi pelapor pertama jika terjadi kebakaran di dalam atau di sekitar kawasan tahura.
Dalam pengembangan wisata, masyarakat dibina dan dilibatkan sebagai pedagang, petugas parkir, petugas pengamanan dan pemandu wisata. Pedagang yang ada sekarang, sedikit demi sedikit mulai ditertibkan. Karena selama ini mereka berjualan dengan tenda yang tidak teratur dan terkesan kumuh, sehingga mengurangi keindahan kawasan wisata. Untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada para wisatawan mancanegara, Balai Pengelolaan Tahura Djuanda saat ini masih membutuhkan tenaga interpreter yang fasih berbahasa asing agar dapat memandu dan memberikan informasi yang rinci kepada para wisatawan asing yang mulai banyak mengunjungi kawasan tahura.
Apresiasi Pemprov Jawa Barat
Mengingat besarnya peran kawasan ini terhadap keberadaan kota ibukota Jawa Barat, Pemerintah Provinsi mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap pengelolaan dan pengembangan Tahura Djuanda. Hal ini dibuktikan dengan pengucuran dana untuk pengembangan dan pemeliharaan tahura, seperti pembangunan open stage/panggung terbuka, rumah flora dan rumah aklimatisasi yang diperuntukan bagi penyesuaian tanaman yang dibawa dari luar kawasan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga memperbaiki sarana jalan masuk dan jalan di dalam kawasan serta meningkatkan kualitas jogging track dari Goa Belanda ke Maribaya, serta pemeliharaan jembatan di Maribaya. Apresiasi Pemprov Jawa Barat juga ditunjukkan dengan pembebasan dengan cara membeli sebagian kawasan enclave yang digumakan untuk pertanian oleh masyarakat. Melihat fungsinya kawasan enclave ini harus dijadikan kawasan lindung karena topografinya cukup curam. Data yang ada menunjukan Pemprov telah membeli lahan masyarakat seluas 7,83 hektar dari 26 hektar enclave yang ada. Kawasan enclave yang masih tersisa sekitar 18 hektar. Kawasan ini belum dibebaskan karena telah dijadikan permukiman penduduk, terutama di kampung Sekejolang desa Ciburial, sehingga pembebasannya tidak mudah karena harus mempertimbangkan banyak aspek.
Demi kenyamanan dan keselamatan pengunjung Pemprov Jawa Barat juga akan memindahkan pintu masuk di Maribaya ke lokasi yang lebih aman. Lokasi yang ada sekarang dipandang kurang aman karena terletak antara jurang dan tebing, sehingga dikhawatirkan akan terjadi longsor.
Keberhasilan pengelolaan Tahura Djuanda ini mendorong pengelola tahura lain untuk mengadakan studi banding. Studi banding yang telah dilakukan di antaranya dari Tahura Suryo di Jawa Timur, dari Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Bahkan dari Provinsi Nangroe Aceh Darussalam menugaskan stafnya untuk magang selama satu bulan di Tahura kebanggan warga Bandung ini.(rd)
Hawa sejuk segera terasa begitu menginjakkan kaki di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda yang terletak di Utara kota Bandung. Kawasan konservasi ini mudah dijangkau karena terletak tidak jauh dari Ibukota Jawa Barat. Hanya dengan waktu tempuh sekitar 20 menit dari Gedung Sate, yang merupakan ”landmark” sekaligus kantor pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat, kita bisa memperoleh kesegaran alam yang sulit didapatkan di perkotaan. Kesejukan dan kesegaran yang ada tidak terlepas dari kondisi tahura yang relatif lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa tahura yang ada. Sehingga tidak heran tempat ini sering dijadikan tempat rekreasi dan berolahraga bagi warga sekitar Kota Bandung.
Tahura ini memiliki aksesibilitas cukup tinggi. Semua jenis kendaraan bisa mencapai pintu gerbang utama dengan mudah, karena jalan sudah beraspal dengan kondisi baik. Selain melalui pintu utama di Pakar Dago, ada beberapa pintu masuk yang dapat ditempuh, yaitu melalui Kolam Pakar PLTA Bengkok dan melalui pintu masuk Maribaya di Lembang.
Menurut Kepala Balai Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda, Tahura ini merupakan tahura pertama di Indonesia dan menjadi benteng terakhir satu-satunya kawasan konservasi terdekat di kota Bandung. Kawasan ini mempunyai fungsi penyediaan air bersih, udara bersih dan paru-paru kota yang harus dilestarikan. Jika tidak dilestarikan, akan mengancam keberadaan kota yang dijuluki Paris Van Java ini. Oleh karena itu pihaknya bertekad untuk menjaga dan melestarikan keberadaan Tahura Djuanda. ”Inilah yang menjadi prioritas utama”, ujarnya.
Berbagai obyek daya tarik wisata yang dapat dikunjungi di Tahura Djuanda antara lain berupa Plaza Monumen Ir. H. Djuanda dilengkapi dengan museum yang dibangun untuk menghormati perjuangan Ir. H. Djuanda, tokoh pahlawan nasional yang berasal dari Jawa Barat. Tahura ini juga menyediakan taman bermain untuk anak-anak dengan berbagai fasilitas permainan di antara pepohonan hutan. Selain itu pengelola juga membangun panggung terbuka untuk menampung kegiatan masyarakat dalam bentuk kegiatan pertunjukan dan atraksi dengan kapasitas 200 orang.
Obyek daya tarik lainnya adalah Curug Dago, berupa air terjun setinggi 15 meter pada aliran sungai Cikapundung dengan pamandangan alam dan ekosistem hutan yang sejuk dan dapat dijadikan tempat istirahat di bawah pepohonan. Air terjun lainnya yang menambah keindahan kawasan ini yaitu Curug Omas. Air terjun yang mempunyai ketinggian 30 meter ini terletak berdekatan dengan obyek wisata air panas Maribaya. Masih di aliran Sungai Cikapundung, di antara kedua curug tersebut terdapat Curug Lalay. Obyek ini berupa goa dengan bebatuan yang terjal yang ditempati burung dan kelelawar yang di tengahnya mengalir Sungai Cikapundung. Sedangkan bagi pengunjung yang menyukai tracking, pengelola menyediakan jogging track berupa jalan setapak menyusuri tepi sungai yang berhutan antara Pakar – Maribaya sejauh 5 km. Melalui track berbukit dengan paving blok ini kita dapat menikmati panorama Tahura dan pemandangan kota Bandung.
Di samping obyek alam tersebut, tempat ini juga menyimpan peninggalan sejarah masa lalu berupa Prasasti Thailand peninggalan Raja Thailand Chulalongkorn II yang pernah mengunjungi lokasi tersebut Tahun 1896. Prasasti ini terawat dengan baik karena pemeliharaannya mendapat bantuan dari Pemerintah Thailand.
Sampai di sini, pengunjung belum lengkap jika belum mengunjungi Goa Belanda. Yaitu goa peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1941 oleh Belanda untuk terowongan PLTA Bengkok. Kemudian pada saat perang goa ini dijadikan sebagai pusat stasiun radio telekomunikasi militer Hindia Belanda. Goa lainnya yang terdapat dikawasan ini adalah Goa Jepang yang dibangun tentara Jepang tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan, setelah sebelumnya Hindia Belanda menyerah kepada Tentara Jepang. Pembangunan goa ini dilakukan oleh tanaga kerja pribumi dengan cara kerja paksa yang dikenal dengan romusha.
Tahura Ir. H. Djuanda merupakan taman hutan raya pertama di Indonesia yang diresmikan 14 Januari 1985 oleh Presiden Soeharto bertepatan dengan tanggal kelahiran Ir. H. Djuanda. Awalnya dikenal sebagai kawasan Hutan Lindung Gunung Pulosari dan Taman wisata Alam Curug Dago. Kawasan hutan lindung ini dirintis pembangunannya sejak tahun 1960 oleh Gubernur Jawa Barat ketika itu, Mashudi, ADM Bandung Utara Sambas Wirakusumah dengan dukungan Ismail Saleh (Menteri Kehakiman) dan Soedjarwo (Menhut)
Pengelolaan Tahura Djuanda sejak tahun 2003 diserahkan kepada Pemprov Jabar c.q. Dinas Kehutanan Jabar melalui UPTD Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya berdasarkan SK Menhut No. 107/kpts-II/2003 tanggal 24 Maret 2003. Luas Tahura Djuanda berdasarkan rekonstruksi tata batas tahura tahun 2003 adalah 527,03 Hektar.
Apresiasi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda terus meningkat. Hal ini diindikasikan dengan tingkat kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara dari tahun ke tahun yang terus meningkat. Data yang diperoleh memperlihatkan tahun 2003 jumlah pengunjung sebanyak 18.020 orang dan tahun 2005 meningkat menjadi 66.388 orang, sedangkan data tahun 2007 menunjukkan angka 94.723 orang. Sementara itu target pemasukan dana dari kunjungan tahun 2008 sebesar Rp 300 juta. Walaupun kecenderungan ini terus meningkat, namun jumlah pengunjung tidak menjadi target pengelolaan. ”Yang penting adalah kawasan tetap lestari, dengan demikian jika kawasan lestari pengunjungpun akan lestari. Masyarakat akan tetap mencari dan memanfaatkan keberadaan kawasan tahura”, ujar Kepala Balai Tahura Djuanda.
Fenomena ini sudah mulai tampak saat ini. Tidak sedikit masyarakat Bandung yang berada pada level menengah ke atas memanfaatkan tempat ini sebagai tempat berolahraga. Kegiatan ini sudah menjadi lifestyle sebagian masyarakat Bandung yang sejak pagi hari melakukan aktivitas kebugaran jasmani di Tahura yang dikalangan masyarakat Bandung masih dikenal dengan sebutan Dago Pakar. Memanfaatkan semua fasilitas yang ada tidak memerlukan biaya mahal. Hanya dengan merogoh kocek Rp 3000 per orang, masyarakat mendapatkan fasilitas yang nilainya jauh lebih tinggi dari yang mereka bayar. Masyarakat sudah membutuhkan dan menyadari fungsi kawasan konservasi yang diresmikan tahun 1985 ini. Kondisi ini merupakan harapan yang baik dan memberikan semangat tersendiri bagi pengelolan Tahura Djuanda.
Pemberdayaan Masyarakat
Guna meningkatkan manfaat bagi masyarakat sekitar, Pengelola Tahura melakukan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan pembuatan kompos. Kompos yang dihasilkan dapat mereka gunakan untuk budidaya pertanian ataupun dijual. Di samping itu juga masyarakat dibina untuk mengembangkan budidaya tanaman herbal, lebah madu dan jamur kayu.
Sementara itu dalam rangka pengamanan kawasan dilakukan pelatihan pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Direncanakan akan dibentuk satuan pengendalian kebakaran yang melibatkan masyarakat. Melalui kegiatan ini diharapkan masyarakat mempunyai keterampilan dalam upaya pertama pemadaman kebakaran sebelum api membesar. Masyarakat juga diharapkan menjadi pelapor pertama jika terjadi kebakaran di dalam atau di sekitar kawasan tahura.
Dalam pengembangan wisata, masyarakat dibina dan dilibatkan sebagai pedagang, petugas parkir, petugas pengamanan dan pemandu wisata. Pedagang yang ada sekarang, sedikit demi sedikit mulai ditertibkan. Karena selama ini mereka berjualan dengan tenda yang tidak teratur dan terkesan kumuh, sehingga mengurangi keindahan kawasan wisata. Untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada para wisatawan mancanegara, Balai Pengelolaan Tahura Djuanda saat ini masih membutuhkan tenaga interpreter yang fasih berbahasa asing agar dapat memandu dan memberikan informasi yang rinci kepada para wisatawan asing yang mulai banyak mengunjungi kawasan tahura.
Apresiasi Pemprov Jawa Barat
Mengingat besarnya peran kawasan ini terhadap keberadaan kota ibukota Jawa Barat, Pemerintah Provinsi mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap pengelolaan dan pengembangan Tahura Djuanda. Hal ini dibuktikan dengan pengucuran dana untuk pengembangan dan pemeliharaan tahura, seperti pembangunan open stage/panggung terbuka, rumah flora dan rumah aklimatisasi yang diperuntukan bagi penyesuaian tanaman yang dibawa dari luar kawasan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga memperbaiki sarana jalan masuk dan jalan di dalam kawasan serta meningkatkan kualitas jogging track dari Goa Belanda ke Maribaya, serta pemeliharaan jembatan di Maribaya. Apresiasi Pemprov Jawa Barat juga ditunjukkan dengan pembebasan dengan cara membeli sebagian kawasan enclave yang digumakan untuk pertanian oleh masyarakat. Melihat fungsinya kawasan enclave ini harus dijadikan kawasan lindung karena topografinya cukup curam. Data yang ada menunjukan Pemprov telah membeli lahan masyarakat seluas 7,83 hektar dari 26 hektar enclave yang ada. Kawasan enclave yang masih tersisa sekitar 18 hektar. Kawasan ini belum dibebaskan karena telah dijadikan permukiman penduduk, terutama di kampung Sekejolang desa Ciburial, sehingga pembebasannya tidak mudah karena harus mempertimbangkan banyak aspek.
Demi kenyamanan dan keselamatan pengunjung Pemprov Jawa Barat juga akan memindahkan pintu masuk di Maribaya ke lokasi yang lebih aman. Lokasi yang ada sekarang dipandang kurang aman karena terletak antara jurang dan tebing, sehingga dikhawatirkan akan terjadi longsor.
Keberhasilan pengelolaan Tahura Djuanda ini mendorong pengelola tahura lain untuk mengadakan studi banding. Studi banding yang telah dilakukan di antaranya dari Tahura Suryo di Jawa Timur, dari Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Bahkan dari Provinsi Nangroe Aceh Darussalam menugaskan stafnya untuk magang selama satu bulan di Tahura kebanggan warga Bandung ini.(rd)
Langganan:
Postingan (Atom)